Sejarah Masuknya Islam di Ternate

Masuknya agama Islam di Maluku, Ternate dan Tidore

A. Masuknya agama Islam di Maluku
Maluku atau yang dikenal secara internasional sebagai  Moluccas adalah salah satu provinsi tertua di Indonesia. Ibukotanya adalah Ambon. Pada tahun 1999, sebagian wilayah Provinsi Maluku dimekarkan menjadi Provinsi Maluku Utara, dengan ibukota di Sofifi. Provinsi Maluku terdiri atas gugusan kepulauan yang dikenal dengan Kepulauan Maluku.
Sejak dahulu kepulauan ini menghasilkan rempah-rempah yang diminati banyak daerah dari manca Negara, missal cina, maupun Negara-negara dari benua Eropa. hususnya di Maluku utara (sekarang), daerah ini merupakan kawasan paling penting pada saat itu. Terdiri dari beberapa kerajaan dan kepulauan. Diantaranya : Ternate, Tidore, Mokir, Makian,  Bacan, dan Jailolo. Ketika dulu, untuk menuju kesana ada dua jalur, pertama berlayar melalui jalur selatan dengan menyusuri pantai laut jawa, laut flores, kemudian sampai Maluku. Kedua, dengan melalui jalur utara, yakni dari Kalimantan utara, melewati selat Sulawesi, kemudian baru ke Maluku. Kebanyakan untuk masuk ke  Maluku, mereka transit melalui kerajaan jailolo, sehingga kerajaan ini terkenal sebagai pintu gerbang Maluku.
Sebagai bukti sejarah, sebuah Masjid besar  serta AL-Qur’an tertua masih menjadi saksi bisu kejayaan islam dimasa silam. Masjid ini bernama Masjid Wapauwe, yang konon dalam membangunnya sama sekali tidak menggunakan paku, sampai sekarang masjid itu masih berdiri.

B. Kerajaan Ternate
            Ternate merupakan daerah penting di Maluku (sekarang terletak di provinsi Maluku Utara). Kerajaan ini berbeda dengan kerajaan-kerajaan yang lain disekitarnya, karena kerajaan ini dipimpin oleh seorang sultan, sedang kerajaan yang lain dipimpin oleh seorang ratu atau raja. Sebagaimana tidore, daerah ini kaya akan rempah-rempah, hususnya cengkih, sehingga banyak para pedagang dari luar nusantara yang mencari rempah disini, karena kekayaan alamnya serta pelabuhannya yang mudah digunakan untuk transit bagi kapal-kapal pelayar.
            Pada abad ke-15, tepatnya pada tahun 1460, islam mulai masuk ke ternate. Raja pertama bernama Vongi tidore. Ia mengambil istri dari soorang keturunan ningrat dari jawa. Namun sumber lain mengatakan bahwa raja yang pertama kali masuk islam adalah Zainal Abidin, malah ada juga yang berpendapat bahwa raja sebelumnya juga sudah memeluk agama islam, yakni bapak Zainal Abidin, yang bernama Gapi Baguna, sebagaimana yang dikatakan oleh F. Valentijn. Yang mana beliau masuk islam atas dakwah dari seorang saudagar dari jawa, Maulana Husain, sehingga namanya diganti dengan Marhum.
            Sebelum menjadi kesultana, ternate merupakan kerajaan yang mengikuti agama syamanisme, kerajaan ini merupakan satu keturunan dengan kerajaan tidore, jailolo, dan Bacan. Akan tetapi, setelah masuknya bangsa colonial yang berhasil mempengaruhi kerajaan ini, akhirnya satu sama lain saling bermusuhan. Karena tidore bekerjasama dengan Spanyol, maka Ternate bersekutu dengan portugis untuk mengimbangi persaingan yang ada, sehingga terjadi bentrok antara ternatre yang dibantu oleh portugis dan tidore dengan bala bantuan Spanyol. Akhirnya ternate mendapatkan kemenganag atas tidore.
            Setelah mendapatkan kemenangan, ternyata portuygis berhianat, mereka memanipulasi hasil rempah-rempah yang ada di ternate. Hal mini menjadikan kemarahan sultan khoirun membara, akhirnya beliau mengangkat senjata dan mengadakan perlawanan kepada portugis, perang terjadni hingga ibukota ternate terbakar, tahun 1565. Dengan dalih perundingan, sultan Khoirun diundang ke Loji Portugis, tapi disana ia malah dihianati, sehingga ia terbunuh disana.
            Kesultana digantikan oleh sultan Babulloh, setelah kematian sultan khoirun, ia mengadakan perlawanan kembali dengan portugis, benteng-benteng tempat pertahanan portugis akhirnya dapat direbut oleh rakyat ternate,  akhirnya pada 28 desember 1577 beliau berhasil mengusir bangsa portugis dari dunia ternate untruk selama-lamanya.
            Ketika kerajaan dipimpin oleh zainal Abidin, ia sempat meluangkan waktu untuk belajar agama islam di Gresik. Ternyatya disini ia bertemu dengan seorang kepala daerah dari ambon yang bertujuan sama dengannya, sehingga mereka berdua bersaudara. Setelah ia selesai belajar islam, maka ia mengukuhkan islam dengan memasukkan agama islam sebagai agama resmi, serta memasukkannya kedalam struktur politik, semula nama pemimpin adalah seorang raja, kemudian disebut sebagai seorang sultan. Ia juga membangun sebuah sekolahan dengan membawa guru agama dari jawa, kemudian mewajibkan para pejabat pemerintahan  untuk mempelajari syariat islam.
            Pada masa inilah ternate mengalami masa keemasannya, tidak hanya dalam bidang keagamaan, melainkan juga perdagangan mulai berkembang pesat. Kinia banyak yang berdatangan para pedagang dari jawa, melayu, hingga orang-orang arab ikut meramaikan pada sector perekonomian mereka. Hingga akhirnya, hal ini mengundang iri dan dengki dari kerajaan-kerajaan sekitar.

C. Kerajaan Tidore
            Sebagaimana ternate, tidore juga merupakan kerajaan penting dimaluku, selain kaya akan rempah-rempah, daerah ini merupakan penghasil belerang. Islam baru masuk ke tidore setelah abad ke-16, karena sebelumnya mereka masih menganut kepercayaan setempat.
            Abad ke-16 bisa dikatakan masa kegemilangan bagi tidore dan ternate, dua kerajaan ini saling bersaing satu sama lain hingga abad ke-17. Sebagai contoh, pulau Motir, yang terpengaruh oleh dua kekuasaan, yakni ternate dan tidore, hingga sempat menyebabkan permusuhan antara mereka.


Kerajaan Gapi atau yang kemudian lebih dikenal sebagai Kesultanan Ternate (mengikuti nama ibukotanya) adalah salah satu dari 4 kerajaan Islam di Maluku dan merupakan salah satu kerajaan Islam tertua di Nusantara. Didirikan oleh Baab Mashur Malamo pada 1257. Kesultanan Ternate memiliki peran penting di kawasan timur Nusantara antara abad ke-13 hingga abad ke-17. Kesultanan Ternate menikmati kegemilangan di paruh abad ke -16 berkat perdagangan rempah-rempah dan kekuatan militernya. Di masa jaya kekuasaannya membentang mencakup wilayah Maluku, Sulawesi utara, timur dan tengah, bagian selatan kepulauan Filipina hingga sejauh Kepulauan Marshall di pasifik.

Asal Usul

Pulau Gapi (kini Ternate) mulai ramai di awal abad ke-13, penduduk Ternate awal merupakan warga eksodus dari Halmahera. Awalnya di Ternate terdapat 4 kampung yang masing – masing dikepalai oleh seorang momole (kepala marga), merekalah yang pertama – tama mengadakan hubungan dengan para pedagang yang datang dari segala penjuru mencari rempah – rempah. Penduduk Ternate semakin heterogen dengan bermukimnya pedagang Arab, Jawa, Melayu dan Tionghoa. Oleh karena aktivitas perdagangan yang semakin ramai ditambah ancaman yang sering datang dari para perompak maka atas prakarsa momole Guna pemimpin Tobona diadakan musyawarah untuk membentuk suatu organisasi yang lebih kuat dan mengangkat seorang pemimpin tunggal sebagai raja.
Tahun 1257 momole Ciko pemimpin Sampalu terpilih dan diangkat sebagai Kolano (raja) pertama dengan gelar Baab Mashur Malamo (1257-1272). Kerajaan Gapi berpusat di kampung Ternate, yang dalam perkembangan selanjutnya semakin besar dan ramai sehingga oleh penduduk disebut juga sebagai “Gam Lamo” atau kampung besar (belakangan orang menyebut Gam Lamo dengan Gamalama). Semakin besar dan populernya Kota Ternate, sehingga kemudian orang lebih suka mengatakan kerajaan Ternate daripada kerajaan Gapi. Di bawah pimpinan beberapa generasi penguasa berikutnya, Ternate berkembang dari sebuah kerajaan yang hanya berwilayahkan sebuah pulau kecil menjadi kerajaan yang berpengaruh dan terbesar di bagian timur Indonesia khususnya Maluku.
 
Organisasi kerajaan
Di masa – masa awal suku Ternate dipimpin oleh para momole. Setelah membentuk kerajaan jabatan pimpinan dipegang seorang raja yang disebut Kolano. Mulai pertengahan abad ke-15, Islam diadopsi secara total oleh kerajaan dan penerapan syariat Islam diberlakukan. Sultan Zainal Abidin meninggalkan gelar Kolano dan menggantinya dengan gelar Sultan. Para ulama menjadi figur penting dalam kerajaan.
Setelah Sultan sebagai pemimpin tertinggi, ada jabatan Jogugu (perdana menteri) dan Fala Raha sebagai para penasihat. Fala Raha atau Empat Rumah adalah empat klan bangsawan yang menjadi tulang punggung kesultanan sebagai representasi para momole di masa lalu, masing – masing dikepalai seorang Kimalaha. Mereka antara lain ; Marasaoli, Tomagola, Tomaito dan Tamadi. Pejabat – pejabat tinggi kesultanan umumnya berasal dari klan – klan ini. Bila seorang sultan tak memiliki pewaris maka penerusnya dipilih dari salah satu klan. Selanjutnya ada jabatan – jabatan lain Bobato Nyagimoi se Tufkange (Dewan 18), Sabua Raha, Kapita Lau, Salahakan, Sangaji dll. Untuk lebih jelasnya lihat Struktur organisasi kesultanan Ternate.

Moloku Kie Raha

Selain Ternate, di Maluku juga terdapat paling tidak 5 kerajaan lain yang memiliki pengaruh. Tidore, Jailolo, Bacan, Obi dan Loloda. Kerajaan – kerajaan ini merupakan saingan Ternate memperebutkan hegemoni di Maluku. Berkat perdagangan rempah Ternate menikmati pertumbuhan ekonomi yang mengesankan, dan untuk memperkuat hegemoninya di Maluku Ternate mulai melakukan ekspansi. Hal ini menimbulkan antipati dan memperbesar kecemburuan kerajaan lain di Maluku, mereka memandang Ternate sebagai musuh bersama hingga memicu terjadinya perang. Demi menghentikan konflik yang berlarut – larut, raja Ternate ke-7 Kolano Cili Aiya atau disebut juga Kolano Sida Arif Malamo (1322-1331) mengundang raja – raja Maluku yang lain untuk berdamai dan bermusyawarah membentuk persekutuan. Persekutuan ini kemudian dikenal sebagai Persekutan Moti atau Motir Verbond. Butir penting dari pertemuan ini selain terjalinnya persekutuan adalah penyeragaman bentuk kelembagaan kerajaan di Maluku. Oleh karena pertemuan ini dihadiri 4 raja Maluku yang terkuat maka disebut juga sebagai persekutuan Moloku Kie Raha (Empat Gunung Maluku).

Kedatangan Islam
Tak ada sumber yang jelas mengenai kapan awal kedatangan Islam di Maluku khususnya Ternate. Namun diperkirakan sejak awal berdirinya kerajaan Ternate masyarakat Ternate telah mengenal Islam mengingat banyaknya pedagang Arab yang telah bermukim di Ternate kala itu. Beberapa raja awal Ternate sudah menggunakan nama bernuansa Islam namun kepastian mereka maupun keluarga kerajaan memeluk Islam masih diperdebatkan. Hanya dapat dipastikan bahwa keluarga kerajaan Ternate resmi memeluk Islam pertengahan abad ke-15.
Kolano Marhum (1465-1486), penguasa Ternate ke-18 adalah raja pertama yang diketahui memeluk Islam bersama seluruh kerabat dan pejabat istana. Pengganti Kolano Marhum adalah puteranya, Zainal Abidin (1486-1500). Beberapa langkah yang diambil Sultan Zainal Abidin adalah meninggalkan gelar Kolano dan menggantinya dengan Sultan, Islam diakui sebagai agama resmi kerajaan, syariat Islam diberlakukan, membentuk lembaga kerajaan sesuai hukum Islam dengan melibatkan para ulama. Langkah-langkahnya ini kemudian diikuti kerajaan lain di Maluku secara total, hampir tanpa perubahan. Ia juga mendirikan madrasah yang pertama di Ternate. Sultan Zainal Abidin pernah memperdalam ajaran Islam dengan berguru pada Sunan Giri di pulau Jawa, disana beliau dikenal sebagai “Sultan Bualawa” (Sultan Cengkih).

Kedatangan Portugal dan perang saudara
Di masa pemerintahan Sultan Bayanullah (1500-1521), Ternate semakin berkembang, rakyatnya diwajibkan berpakaian secara islami, teknik pembuatan perahu dan senjata yang diperoleh dari orang Arab dan Turki digunakan untuk memperkuat pasukan Ternate. Di masa ini pula datang orang Eropa pertama di Maluku, Loedwijk de Bartomo (Ludovico Varthema) tahun 1506. Tahun 1512 Portugal untuk pertama kalinya menginjakkan kaki di Ternate dibawah pimpinan Fransisco Serrao, atas persetujuan Sultan, Portugal diizinkan mendirikan pos dagang di Ternate. Portugal datang bukan semata – mata untuk berdagang melainkan untuk menguasai perdagangan rempah – rempah Pala dan Cengkih di Maluku. Untuk itu terlebih dulu mereka harus menaklukkan Ternate. Sultan Bayanullah wafat meninggalkan pewaris – pewaris yang masih sangat belia. Janda sultan, permaisuri Nukila dan Pangeran Taruwese, adik almarhum sultan bertindak sebagai wali. Permaisuri Nukila yang asal Tidore bermaksud menyatukan Ternate dan Tidore dibawah satu mahkota yakni salah satu dari kedua puteranya, pangeran Hidayat (kelak Sultan Dayalu) dan pangeran Abu Hayat (kelak Sultan Abu Hayat II). Sementara pangeran Tarruwese menginginkan tahta bagi dirinya sendiri. Portugal memanfaatkan kesempatan ini dan mengadu domba keduanya hingga pecah perang saudara. Kubu permaisuri Nukila didukung Tidore sedangkan pangeran Taruwese didukung Portugal. Setelah meraih kemenangan pangeran Taruwese justru dikhianati dan dibunuh Portugal. Gubernur Portugal bertindak sebagai penasihat kerajaan dan dengan pengaruh yang dimiliki berhasil membujuk dewan kerajaan untuk mengangkat pangeran Tabariji sebagai sultan. Tetapi ketika Sultan Tabariji mulai menunjukkan sikap bermusuhan, ia difitnah dan dibuang ke Goa – India. Disana ia dipaksa Portugal untuk menandatangani perjanjian menjadikan Ternate sebagai kerajaan Kristen dan vasal kerajaan Portugal, namun perjanjian itu ditolak mentah-mentah Sultan Khairun (1534-1570).

Pengusiran Portugal
Perlakuan Portugal terhadap saudara – saudaranya membuat Sultan Khairun geram dan bertekad mengusir Portugal dari Maluku. Tindak – tanduk bangsa barat yang satu ini juga menimbulkan kemarahan rakyat yang akhirnya berdiri di belakang sultan Khairun. Sejak masa sultan Bayanullah, Ternate telah menjadi salah satu dari tiga kesultanan terkuat dan pusat Islam utama di Nusantara abad ke-16 selain Aceh dan Demak setelah kejatuhan kesultanan Malaka tahun 1511. Ketiganya membentuk Aliansi Tiga untuk membendung sepak terjang Portugal di Nusantara.
Tak ingin menjadi Malaka kedua, sultan Khairun mengobarkan perang pengusiran Portugal. Kedudukan Portugal kala itu sudah sangat kuat, selain memiliki benteng dan kantong kekuatan di seluruh Maluku mereka juga memiliki sekutu – sekutu suku pribumi yang bisa dikerahkan untuk menghadang Ternate. Dengan adanya Aceh dan Demak yang terus mengancam kedudukan Portugal di Malaka, Portugal di Maluku kesulitan mendapat bala bantuan hingga terpaksa memohon damai kepada sultan Khairun. Secara licik Gubernur Portugal, Lopez de Mesquita mengundang Sultan Khairun ke meja perundingan dan akhirnya dengan kejam membunuh Sultan yang datang tanpa pengawalnya. Pembunuhan Sultan Khairun semakin mendorong rakyat Ternate untuk menyingkirkan Portugal, bahkan seluruh Maluku kini mendukung kepemimpinan dan perjuangan Sultan Baabullah (1570-1583), pos-pos Portugal di seluruh Maluku dan wilayah timur Indonesia digempur, setelah peperangan selama 5 tahun, akhirnya Portugal meninggalkan Maluku untuk selamanya tahun 1575. Kemenangan rakyat Ternate ini merupakan kemenangan pertama putera-putera nusantara atas kekuatan barat. Dibawah pimpinan Sultan Baabullah, Ternate mencapai puncak kejayaan, wilayah membentang dari Sulawesi Utara dan Tengah di bagian barat hingga kepulauan Marshall dibagian timur, dari Philipina (Selatan) dibagian utara hingga kepulauan Nusa Tenggara dibagian selatan. Sultan Baabullah dijuluki “penguasa 72 pulau” yang semuanya berpenghuni (sejarawan Belanda,Valentijn menuturkan secara rinci nama-nama ke-72 pulau tersebut) hingga menjadikan kesultanan Ternate sebagai kerajaan islam terbesar di Indonesia timur, disamping Aceh dan Demak yang menguasai wilayah barat dan tengah nusantara kala itu. Periode keemasaan tiga kesultanan ini selama abad 14 dan 15 entah sengaja atau tidak dikesampingkan dalam sejarah bangsa ini padahal mereka adalah pilar pertama yang membendung kolonialisme barat.

Kedatangan Belanda
Sepeninggal Sultan Baabullah Ternate mulai melemah, Spanyol yang telah bersatu dengan Portugal tahun 1580 mencoba menguasai kembali Maluku dengan menyerang Ternate. Dengan kekuatan baru Spanyol memperkuat kedudukannya di Filipina, Ternate pun menjalin aliansi dengan Mindanao untuk menghalau Spanyol namun gagal bahkan sultan Said Barakati berhasil ditawan Spanyol dan dibuang ke Manila. Kekalahan demi kekalahan yang diderita memaksa Ternate meminta bantuan Belanda tahun 1603. Ternate akhirnya sukses menahan Spanyol namun dengan imbalan yang amat mahal. Belanda akhirnya secara perlahan-lahan menguasai Ternate, tanggal 26 Juni 1607 Sultan Ternate menandatangani kontrak monopoli VOC di Maluku sebagai imbalan bantuan Belanda melawan Spanyol. Di tahun 1607 pula Belanda membangun benteng Oranje di Ternate yang merupakan benteng pertama mereka di nusantara.
Sejak awal hubungan yang tidak sehat dan tidak seimbang antara Belanda dan Ternate menimbulkan ketidakpuasan para penguasa dan bangsawan Ternate. Diantaranya adalah pangeran Hidayat (15?? – 1624), Raja muda Ambon yang juga merupakan mantan wali raja Ternate ini memimpin oposisi yang menentang kedudukan sultan dan Belanda. Ia mengabaikan perjanjian monopoli dagang Belanda dengan menjual rempah – rempah kepada pedagang Jawa dan Makassar.

Perlawanan rakyat Maluku dan kejatuhan Ternate
Semakin lama cengkeraman dan pengaruh Belanda pada sultan – sultan Ternate semakin kuat, Belanda dengan leluasa mengeluarkan peraturan yang merugikan rakyat lewat perintah sultan, sikap Belanda yang kurang ajar dan sikap sultan yang cenderung manut menimbulkan kekecewaan semua kalangan. Sepanjang abad ke-17, setidaknya ada 4 pemberontakan yang dikobarkan bangsawan Ternate dan rakyat Maluku.
* Tahun 1635, demi memudahkan pengawasan dan mengatrol harga rempah yang merosot Belanda memutuskan melakukan penebangan besar – besaran pohon cengkeh dan pala di seluruh Maluku atau yang lebih dikenal sebagai Hongi Tochten, akibatnya rakyat mengobarkan perlawanan. Tahun 1641, dipimpin oleh raja muda Ambon Salahakan Luhu, puluhan ribu pasukan gabungan Ternate – Hitu – Makassar menggempur berbagai kedudukan Belanda di Maluku Tengah. Salahakan Luhu kemudian berhasil ditangkap dan dieksekusi mati bersama seluruh keluarganya tanggal 16 Juni 1643. Perjuangan lalu dilanjutkan oleh saudara ipar Luhu, kapita Hitu Kakiali dan Tolukabessi hingga 1646.
* Tahun 1650, para bangsawan Ternate mengobarkan perlawanan di Ternate dan Ambon, pemberontakan ini dipicu sikap Sultan Mandarsyah (1648-1650,1655-1675) yang terlampau akrab dan dianggap cenderung menuruti kemauan Belanda. Para bangsawan berkomplot untuk menurunkan Mandarsyah. Tiga diantara pemberontak yang utama adalah trio pangeran Saidi, Majira dan Kalumata. Pangeran Saidi adalah seorang Kapita Laut atau panglima tertinggi pasukan Ternate, pangeran Majira adalah raja muda Ambon sementara pangeran Kalumata adalah adik sultan Mandarsyah. Saidi dan Majira memimpin pemberontakan di Maluku tengah sementara pangeran Kalumata bergabung dengan raja Gowa sultan Hasanuddin di Makassar. Mereka bahkan sempat berhasil menurunkan sultan Mandarsyah dari tahta dan mengangkat Sultan Manilha (1650–1655) namun berkat bantuan Belanda kedudukan Mandarsyah kembali dipulihkan. Setelah 5 tahun pemberontakan Saidi cs berhasil dipadamkan. Pangeran Saidi disiksa secara kejam hingga mati sementara pangeran Majira dan Kalumata menerima pengampunan Sultan dan hidup dalam pengasingan.
* Sultan Muhammad Nurul Islam atau yang lebih dikenal dengan nama Sultan Sibori (1675 – 1691) merasa gerah dengan tindak – tanduk Belanda yang semena – mena. Ia kemudian menjalin persekutuan dengan Datuk Abdulrahman penguasa Mindanao, namun upayanya untuk menggalang kekuatan kurang maksimal karena daerah – daerah strategis yang bisa diandalkan untuk basis perlawanan terlanjur jatuh ke tangan Belanda oleh berbagai perjanjian yang dibuat para pendahulunya. Ia kalah dan terpaksa menyingkir ke Jailolo. Tanggal 7 Juli 1683 Sultan Sibori terpaksa menandatangani perjanjian yang intinya menjadikan Ternate sebagai kerajaan dependen Belanda. Perjanjian ini mengakhiri masa Ternate sebagai negara berdaulat.
* Meski telah kehilangan kekuasaan mereka beberapa Sultan Ternate berikutnya tetap berjuang mengeluarkan Ternate dari cengkeraman Belanda. Dengan kemampuan yang terbatas karena selalu diawasi mereka hanya mampu menyokong perjuangan rakyatnya secara diam – diam. Yang terakhir tahun 1914 Sultan Haji Muhammad Usman Syah (1896-1927) menggerakkan perlawanan rakyat di wilayah – wilayah kekuasaannya, bermula di wilayah Banggai dibawah pimpinan Hairuddin Tomagola namun gagal. Di Jailolo rakyat Tudowongi, Tuwada dan Kao dibawah pimpinan Kapita Banau berhasil menimbulkan kerugian di pihak Belanda, banyak prajurit Belanda yang tewas termasuk Coentroleur Belanda Agerbeek, markas mereka diobrak – abrik. Akan tetapi karena keunggulan militer serta persenjataan yang lebih lengkap dimiliki Belanda perlawanan tersebut berhasil dipatahkan, kapita Banau ditangkap dan dijatuhi hukuman gantung. Sultan Haji Muhammad Usman Syah terbukti terlibat dalam pemberontakan ini oleh karenanya berdasarkan keputusan pemerintah Hindia Belanda, tanggal 23 September 1915 no. 47, sultan Haji Muhammad Usman Syah dicopot dari jabatan sultan dan seluruh hartanya disita, beliau dibuang ke Bandung tahun 1915 dan meninggal disana tahun 1927. Pasca penurunan sultan Haji Muhammad Usman Syah jabatan sultan sempat lowong selama 14 tahun dan pemerintahan adat dijalankan oleh Jogugu serta dewan kesultanan. Sempat muncul keinginan pemerintah Hindia Belanda untuk menghapus kesultanan Ternate namun niat itu urung dilaksanakan karena khawatir akan reaksi keras yang bisa memicu pemberontakan baru sementara Ternate berada jauh dari pusat pemerintahan Belanda di Batavia.
Dalam usianya yang kini memasuki usia ke-750 tahun, Kesultanan Ternate masih tetap bertahan meskipun hanya tinggal simbol belaka. Jabatan sultan sebagai pemimpin Ternate ke-49 kini dipegang oleh sultan Drs. H. Mudaffar Sjah, BcHk. (Mudaffar II) yang dinobatkan tahun 1986.

Warisan Ternate
Imperium nusantara timur yang dipimpin Ternate memang telah runtuh sejak pertengahan abad ke-17 namun pengaruh Ternate sebagai kerajaan dengan sejarah yang panjang masih terus terasa hingga berabad kemudian. Ternate memiliki andil yang sangat besar dalam kebudayaan nusantara bagian timur khususnya Sulawesi (utara dan pesisir timur) dan Maluku. Pengaruh itu mencakup agama, adat istiadat dan bahasa.
Sebagai kerajaan pertama yang memeluk Islam Ternate memiliki peran yang besar dalam upaya pengislaman dan pengenalan syariat-syariat Islam di wilayah timur nusantara dan bagian selatan Filipina. Bentuk organisasi kesultanan serta penerapan syariat Islam yang diperkenalkan pertama kali oleh sultan Zainal Abidin menjadi standar yang diikuti semua kerajaan di Maluku hampir tanpa perubahan yang berarti. Keberhasilan rakyat Ternate dibawah sultan Baabullah dalam mengusir Portugal tahun 1575 merupakan kemenangan pertama pribumi nusantara atas kekuatan barat, oleh karenanya almarhum Buya Hamka bahkan memuji kemenangan rakyat Ternate ini telah menunda penjajahan barat atas bumi nusantara selama 100 tahun sekaligus memperkokoh kedudukan Islam, dan sekiranya rakyat Ternate gagal niscaya wilayah timur Indonesia akan menjadi pusat kristen seperti halnya Filipina.
Kedudukan Ternate sebagai kerajaan yang berpengaruh turut pula mengangkat derajat Bahasa Ternate sebagai bahasa pergaulan di berbagai wilayah yang berada dibawah pengaruhnya. Prof E.K.W. Masinambow dalam tulisannya; “Bahasa Ternate dalam konteks bahasa – bahasa Austronesia dan Non Austronesia” mengemukakan bahwa bahasa Ternate memiliki dampak terbesar terhadap bahasa Melayu yang digunakan masyarakat timur Indonesia. Sebanyak 46% kosakata bahasa Melayu di Manado diambil dari bahasa Ternate. Bahasa Melayu – Ternate ini kini digunakan luas di Indonesia Timur terutama Sulawesi Utara, pesisir timur Sulawesi Tengah dan Selatan, Maluku dan Papua dengan dialek yang berbeda – beda. Dua naskah Melayu tertua di dunia adalah naskah surat sultan Ternate Abu Hayat II kepada Raja Portugal tanggal 27 April dan 8 November 1521 yang saat ini masih tersimpan di museum Lisabon – Portugal.



  1. Masuknya Islam Di Maluku
Bentuk dan motivasi masuknya Islam ke Maluku tidak bisa dibicarakan lepas dari bentangan perjalanannya dari Malaka dan Jawa. Mengambil titik berangkat dari situ, berarti kita diajak untuk melihat metode-metode dasar yang dipakai para khalifah, yakni melalui tindakan ekonomi (perdagangan). Tetapi kemudian bagaimana mereka berhasil mengadaptasi diri di dalam masyarakat, dan membangun komunikasi dengan para pemimpin lokal di suatu wilayah (aspek politik), serta juga menggunakan mekanisme-mekanisme kebudayaan sebagai cara mengadaptasi diri secara efektif (aspek kebudayaan).
Setidaknya, dari sisi metode kebudayaan, setiap jejak yang ditinggalkan Islam di satu daerah juga meninggalkan bukti bahwa Islam sangat intens berdialog dengan kebudayaan masyarakat setempat. Contoh paling sederhana adalah ketika ada peninggalan mesjid-mesjid yang khas Jawa, Banten, atau juga mesjid-mesjid yang khas Maluku (seperti Mesjid Wapauwe di Hila).
Titik berangkat itu yang membuat pertemuan Islam dengan Kerajaan Ternate berlangsung tanpa masalah yang berarti. Kerangka kebudayaan orang-orang Ternate malah dijadikan sebagai batu loncatan dalam melebarkan ajaran-ajaran Islam sampai ke pelosok-pelosok. Para ulama lokal, malah nekat bertandang ke Gresik dan Tuban untuk memperdalam ilmu Islam, dan kembali menyebar Islam di negerinya itu.
Pendekatan yang sama pun digunakan ketika Islam mulai masuk ke Ambon, melalui Hitu. Dialog yang intens dengan kebudayaan kembali terjadi di situ. Dan itu merupakan bukti bahwa perdagangan atau aspek ekonomi hanya menjadi instrumen yang mendorong Islam bergerak dari suatu tempat ke tempat lain, tetapi kebudayaan menjadi instrumen yang membangun rasa keislaman yang tinggi di dalam hidup masyarakat.
Kemudian, ketika Islam masuk ke Indonesia kekuatan koloni Eropa belum bergerak, atau dominasi perdagangan rempah-rempah masih dipegang oleh pedagang Cina dan Arab. Ketika masuk ke Indonesia, Islam merajai jalur-jalur perdagangan yang penting seperti: pesisir Sumatera di selat Malaka, semenanjung Malaya, pesisir utara Jawa, Brunei, Sulu dan Maluku. Jalur perdagangan kayu cendana di Timor dan Islam masih tetap menjadi wilayah non-Islam, dan kurang diminati pada pedagang Islam.
Walau begitu, ketegangan di kerajaan-kerajaan lokal di Maluku, seperti di Ternate tidak bisa diabaikan sebagai bagian dari fakta sejarah ketika Islam berjumpa dengan masyarakat di sana. Tetapi satu hal yang menarik adalah Islam Maluku yang terbentuk dari Ternate itu kemudian meluas ke pulau Ambon, dan terbentuk suatu Pan-Islami, yang terus berkembang ke daerah Lease. Seiring dengan itu, kerajaan Iha di Saparua menjadi simbol kekuatan Islam baru di Maluku Tengah, selain Hitu.
Islamisasi Ternate, Hitu, Lease sebenarnya berlangsung secara wajar karena kekuatan perdagangan Islam mulai terbentuk di kawasan itu. Paramitha Abdoerachman mengatakan Hitu menjadi penting karena banyak pedagang mendapat pasokan air tawar dari situ. Fakta ini pun sebenarnya sama dengan ketika Banda menjadi bandar Islam yang cukup penting, karena pasokan ikan yang enak kepada para pedagang.
Politik damai itu melahirkan simpati kelompok lokal yang semula memeluk agama asli (agama suku) menjadi penganut Islam yang rajin. Bahkan hal itu pun terlihat ketika negeri-negeri Hatuhaha Amarima kemudian menjadi pusat kemashyuran Islam tertua di Lease. Untuk yang satu ini memang perlu penelitian lebih mendalam, sebab Islam Hatuhaha Amarima memiliki tatanan ritus Islami yang khas dan kontekstual, seperti ritus Puasa dan Haji.
Di Maluku kita akan menemui bagaimana orang-orang Islam Tulehu, Liang, Tial, Hila, Latu, Kasieh, Lisabata, Pelauw, Ori, Kailolo, Iha, menggunakan bahasa ibu mereka dalam komunikasi sesehari. Bahasa Arab menjadi bahasa agama yang digunakan dalam upacara sakral agama, tetapi kesehariannya menggunakan bahasa setempat. Fenomena ini tidak lagi ditemui pada negeri-negeri Kristen, kecuali di Maluku Tenggara, tetapi juga sudah mulai ditinggalkan oleh generasi mudanya.
Pada sisi ini, Islam Maluku adalah suatu hasil adaptasi kebudayaan yang sangat penting. Dalam adaptasi itu bagaimana struktur bahasa setempat dijadikan sebagai mekanisme penyebaran ajaran agama, dan ditempatkan sebagai unsur yang penting.
Hal ini yang membuat corak kultural di dalam Islam begitu kuat, karena itu agamanya menjadi gampang diterima dan dipandang sebagai agama yang “membawa damai”. Unsur kedamaian yang dirasakan itu adalah ketika masyarakat tetap berkomunikasi dengan bahasanya, sehingga mereka tidak merasa teralienasi dari kelompok besar.
Memang dalam menentukan corak kultural kepada Islam Maluku kita perlu mempertimbangkan kembali beberapa hal seperti, sejauhmana Islam Maluku itu memanfaatkan ritus-ritus adat sebagai suatu bentuk kontekstualisasinya. Orang Islam, menurut Chauvel, memang tidak suka dengan struktur raja seperti diintroduksi oleh Eropa, dan karena itu malah menganggap [sebagian dari] adat sebagai yang mengandung unsur kafir dan haram.
Tetapi adaptasi Islam Maluku ke dalam bahasa setempat memperlihatkan suatu corak beragama yang unik.
Agama Islam memasuki kepulauan Maluku jelas melalui pedagang-pedagang dan mubalig-mubalig Islam yang ikut bersama mereka. Mengenai tanggal waktu yang tepat dan di daerah mana mula-mula agama ini masuk dan berkembang tidak/belum dapat dipastikan. Namun yang jelas ialah bahwa kira-kira pada abad pertengahan ke 15 agama Islam ini sudah dianut dan bertumbuh pada kerajaan-kerajaan di Maluku Utara.
Menurut Sejarah, pada abad ke 10 dan abad ke 11 sudah ramai perniagaan rempah-rempah di Kepulauan Maluku, terutama cengkeh dan pala, yang dilakukan orang Arab dan Persia.
Diceritakan bahwa di Ternate telah datang seorang ulama Islam yang bernama Datu Maulana Husein. Ulama ini sangat pandai membaca Al-Qur’an dengan suara yang merdu dan menarik, sehingga penduduk yang mendengarkannya jadi tertarik. Sebelum penduduk diajarkan membaca Al-Qur’an, diharuskannya mengucapkan dua kalimat syahadat, sehingga sejak saat itu mulailah penduduk Ternate masuk dan menerima Islam sebagai agamanya.
Atas ajakan Datu Maulana Husein, maka raja Ternate saat itu, Gapi Buta menerima Islam dan mengganti namanya menjadi Sultan Zainal Abidin (14651486 M) yang setelah mangkat baginda disebut Sultan Marhum pada tahun 1486 M.
Sumber sejarah lama dan cerita rakyat secara tradisonal menyebutkan bahwa semua sultan yang memerintah di empat kerajaan utama di Maluku Utara, berasal dari keturunan Jafar Sadik, seorang bangsa Arab keturunan Nabi Muhammad saw. Jafar Sadik kawin dengan puteri Nur Safah, yang tiba di Ternate pada tanggal 10 Muharram 470 H (kira-kira 1015 M). selanjutnya diceritakan bahwa dari perkawinan ini mereka dikaruniai delapan orang anak, empat putra dan empat putri. Keempat putra ini menjadi sultan-sultan pertama dari keempat kerajaan yaitu Ternate, Tidore, Jailolo dan Bacan.
  1. Kerajaan Bacan, sultan pertamanya adalah Kaitjil Buka.
  2. Kerajaan Ternate, sultan pertamanya adalah Sultan Masyhur Malamo. Sultan ke-44 yaitu sultan terakhir adalah Sultan Iskandar Muhammad Jabir.
  3. Kerajaan Tidore, yang menjadi sultan pertama adalah Sultan Suhadjati, bergelar Muhammad Bakil pada tahun 502 H. sultan ke-35 (sekarang) adalah Sultan Zainal Abidin Alting yang dinobatkan pada tahun 1366 H/1947 M.
  4. Kerajaan Jailolo, sultan pertamanya adalah Darajati. Sultan ke-16 (yang terakhir) adalah Sultan Tolabuddin.
Menilik berita yang dibawakan oleh pengembara Arab di zaman itu, di antaranya berita dari pengembara al-Mas’udi, maka orang Arab memang telah sampai ke Timur Jauh pada abad 6, abad 7, dan 9, dan seterusnya. Sebelum penjajah Portugis, orang Arablah yang memegang kendali perniagaan di Selat Malaka sampai ke Tionkok. Di Canton telah didapati orang-orang Arab dan pos perniagaan mereka.
Kemudian Kerajaan Ternate dan Tidore merupakan dua kerajaan di kepulauan Maluku. Dalam sejarah perkembangannya, kedua kerajaan tersebut bersaing untuk memperebutkan kekuasaan politik dan ekonomi. Tidak jarang mereka melibatkan kekuatan-kekuatan asing, seperti Portugis, Spanyol dan Belanda. Kekuatan-kekuatan asing tersebut dalam perkembangannya berambisi pula untuk menguasai secara monopoli perdagangan rempah-rempah di kawasan ini. Persaingan antara kerajaan Ternate dan Tidore diperburuk dengan ikut campurnya bangsa Portugis yang membantu Ternate dan bangsa Spanyol yang membantu Tidore. Setelah memperoleh keuntungan, kedua bangsa barat tersebut bersepakat untuk menyelesaikan persaingan mereka dalam Perjanjian Saragosa ( 22 April 1529). Hasil perjanjian tersebut, Spanyol harus meninggalkan Maluku dan menguasai Philipina, sedangkan Portugis tetap melakukan perdagangan di kepulauan Maluku.
Walaupun sedang bersaing memperebutkan hegemoni di kawasan tersebut, kerajaan-kerajaan di Maluku tetap tidak menginginkan bangsa-bangsa barat mengganggu kegiatan perdagangan di kawasan tersebut. Hal itu merupakan salah satu ciri kerajaan-kerajaan Islam di Maluku. Oleh karena itu, mereka selalu mengadakan perlawanan terhadap kekuasaan asing. Misalnya, perlawanan yang dilakukan oleh Sultan Hairun (1550 – 1570 M) dan perlawanan Sultan Baabullah (1570-1583). Perlawanan yang terakhir ini mampu memaksa bangsa Portugis meninggalkan Maluku dan memindahkan kegiatannya ke Timor Timur (sekarang Timor Leste). Adapaun perlawanan terhadap Belanda dilakukan pada masa pemerintahan Sultan Nuku (1780 – 1805 M).  
Di Tidore datang pula sorang pendakwah alim dari tanah Arab bernama Syekh Mansur. Atas ajakan Syekh Mansur ini, maka Raja Tidore yang bernama Kolano Giriliyati masuk Islam dan mengganti namanya menjadi Sultan Jamaluddin.
Dalam penyebaran Islam ke Sulu dan Mindanau, Kesultanan Ternate berperan besar. Menurut berita bangsa Spranyol, pada tahun 1857 M penyebar-penyebar Islam ke Mindanau itu datang dari Brunei dan Ternate. Di Mindanau para penyebar Islam ini mendirikan madrasah dan masjid.
Masuknya Islam di daerah Pulau Seram Barat adalah dimulai dari daerah Latu dan Bualoy. Disebtukan bahwa pnyebar Islam di daerah ini adalah Maulana Zainal Abidin.
Pemeluk Islam pertama adalah Kapiten Nunusaku (Kapitan Iho Lussy) yang berguru kepada Maulana Zainal Abidin, setelah Iho Lussy memperoleh ilmu agama Islam yang cukup, maka ia pun aktif berdakwah seperti gurunya. Sebagian besar penduduk di daerah Seram memeluk agama Islam adalah berkat jasa kedua pendakwah ini. Setelah Kapitan Iho Lussy wafat maka tugas dakwah Islam dilanjutkan oleh anaknya yaitu Muhammad Lussy.
Masuknya Islam didaerah Maluku Tengah adalah melalui pedagang Islam yang datang dari Jawa Timur. Pusat Islam di Jawa Timur sesudah runtuhnya Majapahit adalah Gresik. Dari Gresik inilah datang ulama Islam bersama para pedagang ke Pulau Ambon, dan mereka semua berpusat di kota pelabuhan Hitu. Jadi, Hitu menjadi pusat penyebaran Islam pada daerah sekitarnya pada tahun 1500 M. diduga masuknya Islam di Pulau Kei pada tahun 1500 M.
Diperkenalkannya agama Islam kepada penduduk Maluku mengakibatkan timbulnya proses Islamisasi. Proses religious cultural ini berpengaruh pada bidang politik pemerintahan sehingga timbul Kerajaan Islam. Islam juga memperkaya hukum adat setempat. Hukum Islam Nampak bergandengan dengan hukum adat. Penggunaan huruf Arab oleh raja-raja, bangsawan, dan penduduk setempat memperkaya pula bahasa daerah. Dari sudut kultur, agama Islam ikut pula menentukan corak kebudayaan masyarakat Maluku yang bercorak Islam.
Pada tahun 1564 M telah disepakati suatu perjanjian oleh Portugis dan Ternate. Untuk mereayakan penandatanganan perjanjian ini, Portugis mengundang Sultan Khairun untuk datang ke kapal Portugis. Yang tidak disukai oleh Sultan Khairun adalah usaha Kristenisasi oleh orang Portugis terhadap rakyatnya yang sudah memeluk Islam. Di saat perjamuan di atas kapal Portugis itu, Sultan Khairum ditikan secara keji oleh salah seorang pengawal/adik dari Gubernur De Mesquite sehinga beliau tewas.
Setelah kejadian ini, putra Sultan Khairun, yaitu Babullah naik tahta menggantikannya. Sultan Babullah (1570-1583 M) memaklumkan perang kepada Portugis. Sultan Tidore berdiri di belakang Ternate. Benteng pertahanan Portugis di Ambon diserbu pasukan Sultan Babullah sehingga bedera Portugis di sini diturunkan orang Ternate/ Tidore dari bentengnya. Kemudian benteng Portugis ini dibakar hingga habis dan orang Portugis yang masih hidup menyingkir ke Malaka.
Sampai tahun 1580 M Ternate dengan Sultan Babullah telah meluaskan kekuasannya ke pulau-pulau sekelilingnya sehingga membentang dari Pulau Mindanau (Filiphina) sampai ke Sumbawa (ini dari utara ke selatan) dan dari Irian ke Sulawesi (dari timur ke barat) termasuk Pulau Buton. Juga Ternate mengirimkan para pendakwah untuk mengajak masuk Islam kepada Buton, Makassar (Ujung Pandang), dan Gowa di Sulawesi. Sultan Babullah mangkat pada tahun 1583 M.
Masjid sebagai bangunan-bangunan sacral dari agama Islam mulai dikenal di Maluku meskipun corak bangunannya itu sendiri mempunyai corak Indonesia dengan atap yang bersusun. Dengan demikian dilihat dari sudut kultur, maka agama Islam turut menentukan corak kebudayaan di daerah Maluku, yaitu kebudayaan yang bercorak Islam.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tour Commentary of City Tour (on Board)

TOUR COMMENTARY OF TRANSFER-IN

PERENCANAAN ASPEK PRODUKSI